Alongside Selokan Mataram to Where the Flow Started

 

“Someday, after I finish this mess all, I will come to where the flow started!”
That was my promise when I still worked on my final project.


Setelah semuanya selesai, SKL juga sudah di tangan, tinggal menunggu ijazah dicetak dan kucir di toga dipindah, aku pun memutuskan untuk memenuhi nazarku itu. Yup, mengunjungi hulu Selokan Mataram. And here’s my journey!

Pagi-pagi, hari Jumat tanggal 4 Februari 2011 jam 4:30WIB, aku, yang sejak semalam udah susah tidur saking excited-nya, sudah mandi, shalat subuh dan siap-siap berangkat. Tapi nungguin hampir sejam kok temenku belum datang juga, jadinya malah ketiduran lagi deh. Hahaha… 😀

Akhirnya jam 6 dia datang, dan kami langsung tancap, “Yuk langsung kesana!” kataku penuh semangat. Rute hari ini adalah: dari rumahku di Prambanan (Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah) – Ring Road Barat (Kabupaten Sleman, Propinsi DI Yogyakarta) – Kali Progo (perbatasan DIY dengan Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah), it means hari itu kami bakal membelah Jogja secara melintang. Hahaha!

Baru sampai di perempatan sebelum fly over Janti, kok tiba-tiba kami ngerasa lapeeer banget. Langsung belok kanan, di Babarsari ada tempat makan lontong sayur yang mak nyuss (lupa namanya, pokoknya di depan Sego Penyetan). Slurp slurp. Wah, enaknya, energy recharged, siap berpetualang!

(Our breakfast menu: lontong sayur!)



Perjalanan kami lanjutkan. Walaupun judulnya menyusuri Selokan Mataram, tapi kami memutuskan untuk memulainya dari perpotongan dengan Jalan Ring Road Barat. Kenapa? Karena aku udah eneg ngeliatin Selokan Mataram di dalam Ring Road yang jadi obyek TA-ku 😛 Lagian aksesnya lebih enak langsung ke Ring Road barat, kalau lewat jalan inspeksi, jalannya kecil dan rame banget di dalam kota.

Dari Ring Road Barat, begitu nemu perpotongan dengan Selokan Mataram, langsung belok ke kiri aja, lewat jalan yang sisi selatan. Why south side? Soalnya di sisi selatan itu udah dibangun jalan inspeksi, jadi jalannya lebih jelas. Walaupun ke belakangnya jalan inspeksi ini bakalan terputus di beberapa bagian, entah kenapa.

Di perjalanan susur selokan itu, kami sempat berhenti di beberapa spot yang (menurutku) menarik. Lucunya, kami pertama berhenti buat foto-foto malah di jembatan pertama yang ditemui, and you know what, the bridge is sooo scary! Kecil, kurus, dan nggak ada pegangannya. Tadinya sih mau sok-sokan poto di tengah jembatan itu, tapi aku takuuut! Hahhaa… temenku yang tadinya juga sok berani, baru beberapa langkah lebih jauh dari aku dia takut juga, yes! (senyum licik penuh kemenangan)

(On the scary scary fragile bridge)



Kami lanjutkan perjalanan ke arah barat dengan tingkat antusiasme tinggi. Dan semakin ke barat aku semakin disorientasi, udah sampai daerah mana ya kami (lupa bawa peta dan kompas). Tau-tau aja, jalan inspeksi udah nggak ada lanjutannya. Gimana ini? Aku tanya sama penduduk sekitar, “Pak, nek liwat mriki pripun, tembus pundi nggih?” (Pak, kalau lewat sini gimana, tembus kemana ya?). “Teras mawon mbak, mangke tembuse Kali Krasak,” (Terus aja mbak, nanti tembusnya Sungai Krasak) jawab si bapak. Waa? Udah deket Kali Krasak? Padahal kalo orientasi perpetaanku nggak salah, Kali Krasak itu juauuuuh… ini dalam waktu sekitar setengah jam dari Ring Road tadi (plus poto-poto) kok udah nyampe Kali Krasak aja. Ckckck…

Mendekati Kali Krasak, jalannya MENGHILANG! Adanya cuma jalan semen selebar 1 meter, itupun bawahnya langsung saluran Selokan Mataram. Oh wew… Tapi kami lewatin aja pake motor, walaupun harus ekstra hati-hati. Ternyata nggak sampai 100 meter udah nyampe ke Kali Krasak.

(Suddenly the road disappeared and transform into this :S)



Kami pun berhenti sebentar di situ, dan… ehm, photo session si kucing pink dimulai kembali. Hahaha, narsis mode on. Aku difoto bak fotomodel aja, disuruh gaya, di bendungan pula. Kurang kerjaan banget kan? Mana sebenernya aku (lagi-lagi) takut disuruh ke pinggir bendungannya, soalnya tu bendungan tinggi dan di bawahnya langsung selokan. Hyaa!

(Actually, I was scared of the height)



Dari Kali Krasak nggak bisa nyeberang langsung buat ngikutin Selokan Mataram, jadi kami muter dulu ke selatan dan ngikutin dari pinggir jalan (akhirnya ketemu jalan aspal lagi, hore!). Dari situ kemudian kami pun bertemu dengan bangunan landmark lainnya, yaitu pembagi air antara Selokan Mataram dan Saluran Van der Wijck. Ya, kalau Selokan Mataram alirannya ke barat menuju Sungai Opak, maka Saluran Van der Wijck ini mengarah ke selatan menuju Bantul (entah dimana hilirnya). Banyak yang bilang kalau dari pembagi air inilah hulu Selokan Mataram. Tapi kalau menurutku, kalau dilihat dari bangunannya, ini sih hulunya Saluran Van der Wijck, soalnya Selokan Mataram itu alirannya menerus sedangkan Van der Wijck itu alirannya dari Selokan Mataram. Once more, it’s only my opinion.

(Canal Van der Wijck)

Di sekitar pembagi air ini, pemandangannya hampir mirip dengan suasana persawahan di Bali. Dengan sawah yang semi bertingkat dan Pegunungan Menoreh sebagai background-nya. Hm, rasanya buat ngerasain suasana Ubud bak Elizabeth Gilbert (EAT PRAY LOVE) nggak perlu lah jauh-jauh ke Bali. Hehehe…

(Bali-ish rice fields view)

Lagi-lagi, semakin ke barat jalanan mulai nggak jelas, walaupun udah aspal, tapi lubang di sana-sini, berasa off road deh! Dan tau-tau kanan-kiri udah hutan, lengkap dengan bunyi tonggeret-nya. Wah… a bit spooky sih (aturan tidak tertulis, kalau masuk hutan lebih baik nggak usah ngomong atau bahkan mikir macam-macam).

Tiba-tiba selokannya menghilang begitu masuk ke dalam terowongan. Katanya sih selokannya melewati bawah desa. Wow, what an amazing construction it is! (amazed). Dan kami pun sempat kesasar di dalam desa tersebut karena bingung kemana tembusnya itu selokan. Setelah tanya ke beberapa orang, akhirnya ketemu juga sama tembusan selokannya. Waaah, kaget juga, sekaligus kagum, hebat ya, ternyata ada bangunan air dengan konstruksi sedemikian keren di Jogja.

(Beautiful classic style bridge)

(Terowongan air menembus desa)

Di samping Selokan Mataram, kami mendengar aliran air yang deras sekali, dan kami pun berhenti sejenak. Yap, itu Sungai Progo. Alirannya deras bukan main, dan nggak kebayang kalau main arung jeram di situ, sepertinya bahaya. Hehehe. Baru asik foto-foto, rasanya kok ada titik-titik air membasahi. Aaah, grimis. Lanjut atau cari tempat berteduh nih? Kami pun milih nekat melanjutkan perjalanan, dan benar saja, cuma sebentar gerimisnya!

(On Progo River side)

Dan ternyata, nggak jauh dari tempat kami melihat aliran Sungai Progo itu, sudah sampailah kami di tujuan utama: Bendungan Karang Talun, HULU SELOKAN MATARAM!

The view there was really breath-taking!
Or I just was being melancholic in time.


Aku hanya duduk, bengong sebentar, dan memotret bendungan itu dari banyak angle. Dari situlah aliran air Selokan Mataram itu dimulai. Saluran air bersejarah yang dibangun dari ide brilian Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dengan niat yang mulia untuk menyelamatkan rakyat Yogyakarta dari romusha dan mensejahterakan kehidupan rakyat dengan alirannya yang mengairi ribuan hektar sawah di Yogyakarta. Seperti kata Sunan Kalijaga, yang mana jika Sungai Progo dan Sungai Opak “dikawinkan” maka rakyat Yogyakarta akan sejahtera. The history was one of my reasons why I make this masterpiece as the object of my final project. Ah, yup, I was just being melancholy…


Setelah puas jepret sana-sini, dan gegayaan narsis, akhirnya kami pun memilih spot yang nyaman buat membuka bekal makanan yang kami beli tadi sebelum berangkat, minuman kaleng dan sebungkus wafer. Lagi asik-asiknya menikmati bekal sambil bercanda dan melihat foto-foto, eh… mata kami meng-capture beberapa pasangan “mbojo” di atas motor! Dan karena perbatasan Propinsi DIY dan Jateng itu adalah Sungai Progo, kami pun melakukan permainan bodoh: menghitung pasangan mbojo yang ada di sekitar situ. And the result is… pasangan mbojo di DIY lebih banyak daripada di Jateng, dengan rasio yang mendekati 50:50. Nggak penting banget! Hahahaha! 😀

Perjalanan pulang, niatnya kami mau lewat jalan besar yang lewat desa-desa atau kota sekalian, buat ngerti aja kalau pake jalan normal (bukan off road) lewatnya mana. Tapi kok malah muternya jadi jauh. Begitu nyampe di Kecamatan Sayegan (Kabupaten Sleman), kami pun berbelok, mengikuti jalan inspeksi lagi. Hahaha, jalan itu memang short cut buat perjalanan antar propinsi ini deh!

Overall, perjalanan ini sangat menyenangkan dan exciting. Dan nggak kerasa jauh, walaupun pantat agak tepos juga waktu melewati jalan-jalan off road yang becek dan konturnya nggak karuan. Biaya perjalanan ini? Hanya dikeluarkan untuk beli makan-minum, bekal, dan yang terpenting bensin yang cukup untuk perjalanan yang memakan jarak kurang lebih 35 Km ini, bolak-balik. Nggak keren lah kalau tiba-tiba mogok di hutan atau di tengah persawahan gara-gara kehabisan bensin! 😀 Bagi kalian yang lagi pingin jalan-jalan country side buat weekend, jalan-jalan menyusuri Selokan Mataram bisa jadi pilihan, seru lho!!!

Happy journey!

(Fin)

More photos are here.

3 thoughts on “Alongside Selokan Mataram to Where the Flow Started

  1. hmm yg saluran asli itu yg vanderwijk mbak,,FYI lapangan yg panjang di bawah selokan mataram sebenernya vanderwijk yg di urug..sisa-sisa saluran msh jelas kq cm skrg di jadiin kolam oleh warga sekitar. Pembuatan saluran mataram selain karena permintaan Sultan tp jg karena saluran vanderwijk udh terlalu dekat dgn sungai progo alias rawan ambrol,jd vanderwijk “di potong” di deket jembatan klasik yg mba foto kemudian di sambung lg di deket lapangan.
    Oya kl mbak mau nyusurin jalan aspal ke bawah bkln dapet yg lebih heboh yaitu jembatan gantung duwet,konstruksi cagar budaya bkinan belanda. Bisa beli durian jg dgn harga lebih terjangkau di deket situ 🙂

Leave a comment